Bullying Nan Sopan

Hadi Prasetyo, pengamat sosial - politik

kanalsatu - Pembullyan ataupun perundungan adalah tindakan yang agresif, disengaja, intimidatif, menyakiti, menghina dan merendahkan, dilakukan berulang-ulang, untuk mendominasi orang lain secara emosional, fisik dan mental, sehingga bisa menimbulkan dampak negatif bagi korbannya.

Si tuan atau puan pembuli atau perundung, tidak selalu berwajah garang dan menyeramkan, karena ini soal kejiwaan tersembunyi, serta tidak jauh-jauh dari sifat kejam, tinggi hati, kementhus, egois, terlalu percaya diri dsb. Pembulian bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok.
Tetapi apakah bullying itu hanya merupakan penyakit sosial? Ooh ternyata tidak. Bullying dewasa ini juga bak virus yang bisa menginfeksi rejim kekuasaan (pemerintahan), bahkan yang menganggap dirinya pemerintahan demokratis dan negara hukum sekalipun.

Berbeda dengan rejim otoriter yang terang-terangan membully rakyatnya, pada rejim demokratis berazas hukum pun ternyata bullying dilakukan dengan "sopan"; dengan penampakan retorik juga heroik demi kemajuan bangsa dan negara, dan janji keadilan atas nama hukum.
Intinya, bungkus demokratis dan hukumnya apik, menawan, membuai, walau kalau dicermati isinya bullying yang mematikan juga.

Kenapa harus dibungkus seperti itu? Yaa.. karena demokrasi dan hukum itu merujuk pada nilai kemanusiaan yang beretika, bermoral dan beradab.

Dalam jaman yang liberal dan kapitalistis ini, hampir semua kekuasaan pemerintah dipengaruhi para kapitalis besar yang merupakan inti oligarkhi, lalu merasuk sebagai sistem plutokrasi tersamar dalam sistem demokrasi.

Oligarkhi dan plutokrasi sulit berkembang bila berhadapan dengan demokrasi yang sehat dan beradab secara diametral. Maka mereka menyamarkan diri, memanfaatkan para tokoh2 yang lemah dan rapuh, mensiasati mesin demokrasi dan birokrasi, serta memanfaatkan (baca membodohi) masyarakat yang mayoritas pendidikan menengah ke bawah, hidup pas2an sampai miskin, serta toleran terhadap pragmatisme.

Dan (maaf) Indonesia saat ini nampaknya dianggap habitat yang bagus oleh kelompok oligarkhi dan oknum2 penguasa yang lemah nan rapuh.

Dalam konteks pemilu 2024 dan suksesi pemimpin yang hebohnya baru mencuat ke permukaan pra dan pasca pilpres, banyak orang tersentak dan sadar bahwa demokrasi kita sepertinya memang tidak sedang baik-baik saja.

Dugaan kuat campur tangan kelompok oligarkhi dan sistem plutokrasi, membangkitkan rasa kecemasan yang dalam dan luas; akankah Indonesia bisa meraih keemasan di 2024, kalau modelnya seperti ini?

Dugaan banyaknya tindakan2 represif, intimidatif, serta penyanderaan (baca pemanfaatan) beberapa tokoh kunci terkait skandal-skandal hukum maupun aib pribadi, untuk superioritas kekuasaan sudah tidak lagi menjadi rahasia, walau masih sulit diusut karena secara logika lembaga2 terkait juga sudah terkooptasi jejaring plutokrasi.

Dugaan kecurangan elektoral baik pilpres maupun pileg yang sedang dikecam masyarakat luas, dan berujung pemboikotan SIREKAP dan tuntutan/gugatan pemilu pilpres ulang dan pemakzulan makin memanas.

Kalau dalam film2 plotnya sudah mengarah ke chaos, pertarungan antara hidup mati; antara (sebagian) rakyat melawan penguasa.

Yang menarik untuk telusuri, bagaimana mungkin penguasa yang sebelumnya dipuja2 dengan approval rate hingga 80%, dalam waktu singkat dimusuhi dan dibenci sebagian (besar) masyarakat, mahasiswa, guru besar, aliansi sipil, juga sebagian kekuatan politik parlemen dalam bentuk demo, Hak Angket, dan gerakan pemakzulan?

Seberapa kuat dan seberapa tahan lama rezim penguasa bisa bertahan? Para pakar dan pengamat mengatakan "tinggal soal waktu"! Mungkin benar juga, karena dalil kekuasaan itu ada batasnya, dan kekuasaan itu fana.

Barangkali kita bisa belajar dari sejarah, dimana Soekarno yang dipuja akhirnya terguling. Soeharto yang kokoh dan flamboyan juga terguling.

Dari sejarah dunia bisa juga kita rujuk. Misal Nicolae Ceausescu Presiden Rumania. Pemujaan terhadap dirinya mulai runtuh ketika revolusi menentangnya dimulai pertengahan Desember 1989 di kota Timisoara, tapi dihentikan dengan kekerasan atas perintah Ceausescu.
Pembangkangan segera menyebar ke seluruh negeri, berpuncak pada demonstrasi ratusan ribu orang di ibu kota Bukares ketika mereka menghadiri pidato Ceausescu 21 Desember 1989.
Ceausescu mencoba meneguhkan kembali kekuasaannya, tapi ia keliru memperkirakan suasana hati rakyat.

Mereka menyalahkan dirinya dengan teriakan "Timisoara! Timisoara!".
Ceausescu terkejut, ia tak pernah disoraki begitu rupa. Lalu ia mencoba membujuk rakyat dengan janji menaikkan gaji, tapi rakyat sudah terlanjut kecewa.
Pidato yang dimaksudkan untuk memulihkan kekuasaan dan disiarkan langsung oleh televisi itu tiba-tiba diputus di tengah-tengah. Sang diktator disoraki oleh ratusan ribu warga yang berkumpul.
Anggota pasukan terjun payung Ionel Boeru ditugasi sebuah misi "rahasia" untuk mengeksekusi Ceausescu dan istrinya, Elena.

"Sebelum sidang, kami sudah tahu bahwa kami lah yang akan mengeksekusi mereka."
Ceausescu dan istrinya ketika itu mencoba melarikan diri dengan helikoper, tapi kematian menunggu mereka.
Pasangan itu kabur dari ibukota Bukarest pada 22 Desember 1989, tapi tertangkap dan ditahan di markas militer 80 km dari ibu kota.

Pengadilan berlangsung kurang dari dua jam, dan putusan dijatuhkan beberapa menit saja, dan di eksekusi
Rujukan sejarah kekuasaan bisa kita pelajari dari tokoh Perdana Menteri Italia
Benito Musolini, yang pada mulanya prestasinya dianggap ajaib dan dipuja.
Dia telah mengubah dan menghidupkan kembali negara Italia yang terpecah dan mengalami demoralisasi; melaksanakan reformasi sosial dan pekerjaan umum tanpa kehilangan dukungan dari kaum industrialis dan pemilik tanah; bahkan berhasil mencapai kesepakatan dengan kepausan.

Ketika perang sipil meletus pada April 1945, Mussolini akhirnya kalah telak, bersama simpanannya Clara Petacci mencoba kabur ke Swiss, tetapi keduanya tertangkap oleh partisan komunis Italia dan langsung dieksekusi di hadapan regu tembak pada 28 April 1945 di dekat Danau Como.

Jenazah Mussolini dan simpanannya kemudian dibawa pergi ke Milan, dan di sana kedua jenazah itu digantung terbalik di sebuah stasiun pengisian bahan bakar agar semua orang bisa melihat bahwa mereka sudah mati.

Akhir tragis dari sejarah kekuasaan dua tokoh dunia tersebut, seharusnya memberi pelajaran dan hikmat kebijaksanaan bagi suksesi di Indonesia.

Dalam kemelut pasca pemilu dan pilpres 2024, semua orang mengharapkan suksesi yang damai dan suasana yang bagus agar rakyat bisa bekerja meraih prestasi kehidupan masa depan yang makin baik.
Tetapi dugaan kecurangan dan pelanggaran etika moral, politik dinasti serta tindakan-tindakan kontroversal melanggar konstitusi dan UU, telah menyebabkan kekecewaan dan kemarahan sebagian rakyat.

"Bullying nan sopan" diduga sudah terjadi sejak 2019. Gimik2 provokatif, 'nglunjak' dan nyindir berlangsung intensif sejak pra dan pasca pemilu, bahkan para Guru Besar yang profesor dan bijak terusik emosinya.
Bullying betapapun sopannya akan melahirkan kekecewaan yang dalam. Bisa bermutasi jadi kemarahan dan dendam. Dan dendam bisa memicu mata gelap, tindak kekerasan, dan akhirnya bisa melahirkan tragedi yang seharusnya bisa dihindari.

Sejarah membuktikan betapapun kuat dan kokohnya kekuasaan, bisa terguling tragis, bahkan dari hal-hal yang sepele.
Apalagi bullying jahat walau sopan pasti tidak disukai TUHAN yang berpihak pada penderitaan rakyat.

Kata teman saya, siapa tahu TUHAN sudah mengutus Malaikat Izrael mengawasi para pembully, dan bersiap melakukan tugas mencabut nyawa pada saatnya. Dan Malaikat Munkar sudah menunggu di alam kubur...

Bertobat segera niscaya merupakan hal terbaik dari orang2 yang beriman.
Wallahualam (*)
Komentar