Menuju Indonesia Emas Tanpa Kemaritiman ?
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*
KANALSATU - 10 TAHUN silam, Jokowi mendeklarasikan kemenangannya secara simbolik di pelabuhan tua Sunda Kelapa, di haluan sebuah perahu layar Pinisi, Jokowi mencanangkan Indonesia Poros Maritim Dunia.
Sebagai seorang naval architect hati saya sumringah...
Kini, di tangan Prabowo-Gibran, saya tidak yakin jika visi maritim Jokowi itu akan dilanjutkan Prabowo.
Sayang arsitektur Kabinet Jokowi tidak pernah dirancang untuk mewujudkan visi maritim itu. Di kabinet Prabowo yang sebentar lagi dilantik juga tidak. Gus Dur sempat merintis visi maritim itu, tapi tidak dilanjutkan Megawati atau SBY. Selama pemerintahannya, Jokowi tidak memerintah di laut, apalagi secara efektif.
Padahal, bagi negara kepulauan, menjadi negara maritim adalah pilihan geostrategi yang tak terelakkan; sebuah geostrategic default. Baik China maupun AS yang negara benua saja menyadari keharusan menjadi negara maritim agar memerangkan perang dagang, apalagi kalau mau jadi negara adidaya.
Kepentingan maritim sebuah negara adalah kepentingan trade and commerce. Banyak para perencana pembangunan di BAPPENAS yang pendidikannya di Eropa atau AS, tidak cukup peka dengan kepentingan maritim ini. Sebuah bangsa, seperti Singapura atau Belanda, tidak perlu memiliki kekayaan SDA melimpah. Keduanya cukup menguasai perdagangan SDA itu sejak batu bara, migas, nikel, hingga kopi, dan sawit dengan menguasai pasarnya, menentukan harganya dan menentukan uang yang digunakan dalam jual belinya. Baik Singapura dan Belanda adalah dua negara sangat kecil, tapi sangat makmur.
Untuk menjadi negara maritim, bangsa itu perlu memiliki armada nasional yang produktifmengangkut berbagai hasil produksi nasional antar-pulau, sekaligus mendukung ekspor-impor ke berbagai pelabuhan dunia secara efisien, aman dan selamat.
Jika angkutan ini dikuasai pelayaran asing, maka kita akan seperti di era penjajahan dulu di mana kita tetap miskin, yang kaya dan menguasai laut kita justru penjajah Belanda.
Hilirisasi atas semua hasil-hasil tambang dan pertanian kita juga penting untuk meningkatkan dilai tambah, tapi jika pengangkutannya bukan oleh armada-armada kapal berbendera Indonesia, maka ongkirnya akan dinikmati perusahaan-perusahaan pelayaran asing itu sekaligus bisa mengancam keseimbangan eksternal kita, sehingga Rupiah mudah dipermainkan olen mitra dagang kita.
Sebaiknya Prabowo menyusun Kabinetnya agar lebih mampu hadir di laut secara efektif. Pekerjaan ini terbengkalai di bawah Menkomarinves LBP yang sibuk mengurusi banyak hal, kecuali kemaritiman.
Saat ini ada banyak kementrian dan badan yang mendaku memiliki kewenangan di laut, namun tidak ada satu pemerintahan dengan satu tanggungjawab di laut.
Akibatnya, terlalu banyak tumpang tindih kewenangan, dan konflik kepentingan sehingga iklim bisnis di laut menjadi berbiaya tinggi padahal penuh resiko. Badan Keamanan Laut tidak memadai untuk memimpin pemerintahan di laut secara efektif.
Pemerintah Prabowo perlu melakukan maritime mainstreaming untuk menguatkan kemaritiman sebagai instrumen pemerataan pembangunan, pemersatu, dan memastikan kesejahteraan umum serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya di P. Jawa, tapi juga masyarakat di Pulau Miangas di Utara, dan di Pulau Rote di Selatan, di P. We di utara NAD dan di Papua.
Kita perlu membangun lebih banyak kapal dari berbagai jenis dan ukuran, membangun pelabuhan-pelabuhan yang efisien, galangan-galangan kapal yang inovatif merancangbangun kapal-kapal masa kini dan masa depan, dan melatih dan mendidik pelaut-pelaut bangsa kita sendiri untuk mengawaki armada kapal nasional tersebut.
Hanya dengan menjadi negara maritim ini, Indonesia akan mampu memimpin ASEAN untuk mengimbangi China, tidak sekedar menjadi satelitnya.
Sukolilo: Surabaya, 19 Oktober 2024.
Penulis:
@DOE ITS Surabaya