Prabowo Peduli UMKM: "Semoga Berbeda"

Oleh: Hadi Prasetyo, pengamat sosial - ekonomi

KANALSATU - Menurut SUSENAS 2016, jumlah Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar (UMKMB) di Indonesia sebanyak 26,7 juta unit, dan terdiri: 89,3% Usaha Mikro; 8,98% Usaha Kecil; 1,54% Usaha Menengah; dan 0,13% Usaha Besar. Dari 23,8 juta unit Usaha Mikro tersebut, sekitar 60% lebih beromzet 100 – 180 jt rupiah per tahun, atau 300 rb - 600 rb rupiah per hari sebagai penghasilan kotor.?

Lebih 50% usaha mikro tersebut berada di sektor perdagangan eceran, dan sekitar 25% usaha pengolahan (umumnya makanan, minuman usaha rumahan), sehingga added value-nya memang kecil, selain tidak terkait langsung dengan ‘production chain process” industry pengolahan yang bernilai tambah tinggi; apalagi jika yang diperdagangkan adalah re-selling; produk-produk import.

Kebijakan dan Program

Tulisan ini dimaksudkan untuk membuka kembali wacana perlunya evaluasi kebijakan dan program Pemerintah terhadap Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM), yang telah lama dicanangkan Pemerintah untuk menampilkan wajah kerakyatan, diselenggarakan dari rejim ke rejim, dari kabinet ke kabinet, namun dirasakan masyarakat sebagai “begitu-begitu saja”, gaungnya menyentuh permukaan persoalan, tetapi kurang menukik sebagai keseriusan pada akar persoalan. Faktanya, bagi sebagian masyarakat belum nampak adanya kerangka kebijakan dan program kerja strategis yang benar-benar transformatif bagi UMKM khususnya mikro dan kecil bahkan di dalam RPJPN 2045.

Saat ini, ketika kelas menengah terus merosot populasinya, 9 juta Gen Z menganggur, maka wacana ini mungkin menjadi sangat crucial karena UMKM berkontribusi lebih dari 55% GDP, mencakup tenaga kerja yang sangat banyak dan menjadi garis depan perluasan lapangan kerja, di era bonus demografi dan tekanan ekonomi global, serta sasaran RPJPN untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Wacana ini mungkin agak jauh untuk bisa dirasakan urgensinya dari sudut pandang ekonomi makro, tetapi dari sudut pandang ekonomi mikro khususnya transformasi sektor ekonomi riil menjadi sangat urgent menuju puncak bonus demografi tahun 2035.

Jika kita telusuri ragam kebijakan dan program Pemerintah yang dilakukan selama ini, sejak Orde Baru hingga saat ini nampak sudah cukup banyak. Setidaknya ada 16 kebijakan program untuk UMKM:

1) Pembiayaan (KUR) dan Ultra mikro (LKM)
2) Insentif perpajakan pph final 0 5%
3) Penjaminan modal kerja sd 10 M via Jamkrindo dan Askrindo
4) Digitalisasi via pengadaan barang/jasa pemerintah melalui Aplikasi Belanja Pengadaan dan Laman UKM pada portal Pengadaan Nasional.
5) Pelatihan dan pengembangan kapasitas
6) Perlindungan hukum dan kemudahan akses perizinan
7) Infrastruktur dan fasilitas pendukung
8) ASEAN Online Sale Day (AOSD)
9) Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI)
10) Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang adalah salah satu program pemerintah untuk memulihkan ekonomi Indonesia akibat dampak Covid-19.
11) Belanja Imbal Jasa Penjaminan (IJP)
12) Penempatan Dana Pemerintah di perbankan
13) Penjaminan loss limit kredit UMKM
14) Pajak penghasilan final UMKM ditanggung pemerintah
15) Pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementrian Koperasi UMKM
16) Program Bantuan Presiden (Banpres) Produktif Usaha Mikro

Secara umum, program pemberdayaan dan pengembangan UMKM di Indonesia sebagai entitas ekonomi yang kontribusinya pada GDP diperkirakan lebih dari 55% terasa lebih cenderung berfokus pada kebijakan fiscal. Hal ini mungkin karena sejak berlakunya UU 17/2003 peran Kementrian Keuangan menjadi amat sangat kuat melalui konsep dan prinsip yang popular dengan istilah “program follow money”. Konsep dan prinsip ini tentu berlandaskan asumsi bahwa ekonomi riil akan menyesuaikan diri dan berkembang otomatis dengan kerangka kebijakan fiscal ekonomi makro yang menyeluruh dan rinci, walau dalam beberapa hal terasa agak “kaku”.

Jarang sekali diulas dalam berbagai seminar maupun talkshow issue tentang bagaimana ekonomi riil bisa dipacu berkembang pesat ala negara-negara maju, sehingga masuk dalam pembahasan “public policy” oleh DPR-RI. Mungkin banyak yang menyangkal pendapat seperti ini, tetapi kalau dilihat betapa industri textile banyak yang bangkrut, banyaknya PHK, dan betapa industri manufaktur di negeri ini begitu besar ketergantungannya pada import untuk supply produksi, mungkin cukup bisa dipahami mengapa pendapat seperti ini tercetus.

Kebijakan fiscal dan moneter nampaknya memang menjadi idola dan andalan konsep ekonomi makro, karena memang merupakan keniscayaan. Dengan konsep dan pendekatan makro ini secara teoritis diasumsikan bahwa ekosistem kegiatan ekonomi riil membaik (enabling) sehingga “otomatis” bisa bergerak, walaupun dengan catatan masih harus secara paralel didukung kebijakan-kebijakan non fiscal selugas kebijakan fiscal sebagai main government’s policies sektor UMKM.

Akibat kebijakan dan program Pemerintah tersebut di atas yang berada pada platform program yang tersebar bahkan mungkin divergern sehingga kurang menghasilkan resultante kinerja yang signifikan, tidak bisa diharapkan otomatis convergern dan focus dalam meningkatkan kinerja sektor UMKM. Bila dampak kebijakan fiscal kurang memberikan hasil signifikan terhadap sektor ekonomi riil, umumnya yang di”salahkan” adalah pelaku ekonomi riil (terutama mikro dan kecil) yang dianggap kurang kapabilitas, kurang literasi, kurang kompetensi dsb.

Kaidah “belum tentu otomatisnya” dampak kebijakan fiscal terhadap ekonomi riil, sebagai sesuatu yang ambigu, bisa digambarkan ketika pelaku ekonomi riil dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan serta ketrampilan cukup belum tentu berhasil dalam wirausaha. Andai orang berpendidikan S3 pun mencoba berwirausaha, belum tentu berhasil membuka dan menjalankan kewirausahaan baru hanya berlandaskan dukungan fiscal, dan belum tentu mereka berhasil dan berkembang secara berkelanjutan, karena mereka sangat dipengaruhi oleh “ekosistem bisnis” yang ada, yang sering bersifat kedaerahan, mulai dari peraturan-peraturan usaha, kebijakan tata ruang, peraturan sectoral, keengganan klasik Pemda dalam mendorong EDB (ease of doing business), dan belum lagi ‘negosiasi bawah tangan’, dll.

Kenyataan dari intensifnya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui berbagai jalur, misal dana bergulir, kredit lunak yang disalurkan masif dalam konteks pemberdayaan kelompok masyarakat, juga sering gagal karena masyarakat penerima atau pengusul bantuan modal terutama di tingkat grassroot pedesaan cukup lugu. Asal ada modal dan kemauan bekerja pasti bisa. Kalau gagal ya nasib.

Mereka sering terperangkap dalam kompetisi usaha secara horizontal, misal desa-desa digelontor modal usaha, dana mereka hanya terfokus pada usaha-usaha tertentu yang tanpa disadari banyak kelompok masyarakat lain yang juga dalam jalur usaha bisnis yang sama, maka akan terjadi “over supply” dan persaingan horizontal yang saling mematikan. Demikian juga ketika daya beli masyarakat turun, omzet penghasilan mereka bisa turun drastis dan merugi. Usaha ultra mikro, mikro dan kecil kurang mampu membangun “captive market” sementara usaha kecil gemuk dan menengah sudah memainkan strategi manajemen pemasaran yang modern berupa promosi, discount dan “bakar uang” dari pandana besar dalam membantu “start up”.

Profil UMKM Indonesia

UMKM di Indonesia sangat didominasi oleh usaha mikro (bisa dikatakan ultra mikro). Berdasarkan SUSENAS 2016 (SUSENAS berikutnya baru tahun 2026), jumlah unit usaha (UMKMB-termasuk besar) total 26,7 juta unit.

Dari total populasi tersebut terdistribusi pada Usaha Mikro sebanyak 89,3% (omzet 0 – 300 jt per tahun dengan tenaga kerja – TK 58,3%); Usaha Kecil 8,98 % (omzet 300 jt – 2,5 Milyar per tahun dengan tenaga kerja – TK 17,9 %); Usaha Menengah 1,54% (omzet 2,5 M – 10 M per tahun dengan tenaga kerja – TK 11,56%); dan Usaha Besar hanya 0,13% (omzet > 10 M per tahun dengan tenaga kerja – TK 12,15%).

Sebagai catatan dalam UU Cipta Kerja, kategori Usaha Mikro dirubah masuk dalam kategori omzet 0 - 2 milyard. Ini artinya usaha yang sangat ultra mikro, informal dan tercecer di tepi-tepi jalan masuk dalam kategori “policy intervention” kebijakan fiscal ber omzet sampai 2 milyard rupiah pertahun.

Terkait Usaha Mikro dari data Susenas 2016, proporsi populasi Usaha Mikro ini ternyata sangat besar, sekitar 23,8 juta unit (89,3% dari total usaha UMKMB). Diperkirakan, dari total populasi Usaha Mikro tersebut, sekitar 60% lebih hanya beromzet antara 100 – 180 jt rupiah per tahun. Artinya usaha mikro (sebut sangat ultra mikro yang puluhan juta banyaknya ini) hanya ber omzet antara 300 rb - 600 rb rupiah per hari sebagai penghasilan kotor (gross revenue). Usaha-usaha ultra mikro ini sebagian besar terlihat dari banyaknya pedagang di pinggir jalan, tersebar (hanya sebagian terkonsentrasi-aglomerasi) dan sebagian lainnya usaha rumah tangga.

Lebih dari 50% unit usaha mikro ada di sektor perdagangan eceran, sekitar 25% di usaha pengolahan (umumnya makanan, minuman usaha rumahan), sehingga “added value” usaha mikro ini memang kecil. Dengan kata lain usaha mikro yang lebih cenderung berusaha di sektor perdagangan eceran, tentu tidak terkait langsung dengan ‘production chain process” industry pengolahan (manufacturing industries) yang bernilai tambah tinggi; apalagi jika yang diperdagangkan adalah re-selling; produk-produk import!.

Inilah kenyataan profil UMKM di Indonesia yang selalu diakui penting, memberikan kontribusi >50% GDP, dan didorong kebijakan fiscal, tetapi kurang pembinaan (ekosistem usaha yang memadai) di daerah-daerah. Ironisnya dalam setiap pemilu, merekalah yang diberi janji muluk-muluk.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah UMKM khususnya mikro dan kecil yang berjumlah besar dan menjadi tumpuan tenaga kerja yang sangat banyak, bisa mendapatkan perhatian dan dukungan pemerintah serta menjadi bagian dari fundamental ekonomi rakyat menghadapi peluang bonus demografi yang berpuncak pada tahun 2035?

Apabila keberadaan UMKM, khususnya mikro dan kecil, dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja, maka sektor ini sesungguhnya menjadi andalan bagi tenaga kerja “setengah penganggur” seperti dalam definisi BPS. Artinya Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berada dalam angka 4.5 - 5.5% bukanlah kinerja yang melegakan, karena sektor UMKM yang mikro kecil mungkin hanya menjadi lapangan usaha bagi pekerja setengah penganggur dan paruh waktu.

Lalu bagaimana dengan masterplan atau Renstra UMKM pada Kementrian terkait meng-adress hal seperti ini?

Belajar dari Tetangga

Situasi dan kondisi UMKM di atas, akan sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok. Seperti dikemukakan Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Supari pada 7 Maret 2024 (sebagaimana diunggah oleh CNBC).

Menurut Supari, Pemerintah Tiongkok menyatukan peran kolaboratif dalam mensinergikan stakeholder dalam pengembangan UMKM sebagai driver pertumbuhan. Negara ini juga mengambil peranan penting sebagai akselerator dan orkestrator dengan perangkat kebijakan yang menjangkau seluruh fungsi strategis mencakup pembiayaan, pemberdayaan, inkubasi, teknologi, akses pasar, serta iklim persaingan yang konstruktif bagi UMKM.

Pengembangan pelaku UMKM berbasis teknologi tinggi di China menjadi salah satu objektif kunci dalam kebijakan pengembangan industri dan ekonomi di China menuju rencana strategis Made in China 2025 (MIC) yang tertuang dalam China Grand Strategic Goal: "A Leading high-end Manufacturing Superpower," yang merupakan ambisi China untuk menjadi super power. Di sektor UMKM disebutkan bahwa pada 2025, China berambisi memiliki 1.000 UMKM inovatif, sekitar 100.000 UMKM khusus, 10.000 perusahaan raksasa kecil, dan 1.000 perusahaan manufaktur champion hingga 2025.

Menurut Supari, ada empat kebijakan penting yang dilakukan Pemerintah Tiongkok untuk UMKM di antaranya adalah:

1. Pembiayaan UKM berkualitas tinggi, dimana China memberikan komitmen pembiayaan sangat besar pada 2021-2025 beserta serta dukungan training, investasi dan lain-lain.
2. Mendorong kolaborasi riset dan pengembangan. kebijakan kolaborasi strategis yakni lembaga inkubator seperti universitas, badan riset, dan peneliti
3. Integrasi UMKM ke dalam rantai pasok korporasi mendorong korporasi dan BUMN untuk melakukan sourcing teknologi kepada UMKM yang diwujudkan dalam bentuk Key Performance Indicator (KPI) atau indikator kinerja utama
4. Penguatan paten dan HAKI UMK kebijakan dan kemudahan akses, pendampingan, pendaftaran, serta utilisasi paten bagi UMKM

Supari lebih lanjut menjelaskan bahwa prasarana pengembangan UMKM di China sebenarnya sudah ada di Indonesia, seperti badan/lembaga keuangan, badan riset, hingga peran pemerintah. Namun, menurutnya, Indonesia belum memiliki orkestrator khusus yang menyelaraskan kebijakan.

Di Indonesia ternyata kita punya semua. hanya masalahnya orkestrasi yg belum kuat. salah satu pembeda UMKM China dan Indonesia adalah terkait literasi digital dan keuangan. Tingkat literasi UMKM China mencapai 87% sementara Indonesia baru 49,68%. Tingkat inklusi pelaku UMKM China juga jauh lebih tinggi yakni 97% sementara Indonesia hanya 85,1%. Rasio akses kredit UMKM China sudah mencapai 64,9% sementara Indonesia hanya 19,6%.

Pada 12 Nov 2020, seperti dilansir Liputan 6, Menteri Teten Masduki menyatakan bahwa UMKM di Jepang dan China mampu ekspor karena bermitra dengan perusahaan besar. Kebijakan Tiongkok dalam mengembangkan UMKM memang serius dan focus, serta terintegrasi dengan sasaran global yang menjadikan China raksasa ekonomi dunia

Hal yang mungkin menarik, seperti analisis Rofiatul Windariana dalam mengulas China Grand Strategic Goal: "A Leading High-end Manufacturing Superpower,". Tiongkok berusaha untuk menciptakan sebuah ekosistem yang kondusif bagi perkembangan UMKM sehingga membuat Tiongkok unggul dalam persaingan ekonomi global, yang setidaknya ada 4 fokus ekosistem:

Pertama, melalui investasi sumber daya yang mendukung inovasi teknologi sehingga mampu meningkatkan produktivitas dan mendukung terhadap industrialisasi ekonomi sehingga dapat menghasilkan teknologi baru

Kedua, kebijakan industrialisasi berbasis sumber daya yang tersedia. Pada tahap awal Tiongkok memfokuskan terhadap pengembangan industri yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya yang ada sehingga unit usaha yang berkembang bersifat tepat guna.

Ketiga, menciptakan ekosistem jaringan berbasis industri strategis sehingga setiap sektor mendapatkan manfaat dari perkembangan teknologi hingga di tataran akses pasar.

Keempat, dukungan terhadap kebijakan monopolistically competitive trade yang diterapkan Tiongkok untuk merangsang pertumbuhan UMKM di sektor yang sama namun tidak identik, sehingga setiap UMKM mampu bersaing masing-masing melalui kemampuan produksinya dalam memenuhi pasar.

Makin menarik dari kebijakan Pemerintah Tiongkok bagi UMKM adalah mendorong investasi dan pertumbuhan UMKM teknologi tinggi yang disertifikasi pemerintah diberi label sebagai “UKM Khusus” atau “Raksasa Kecil”.

Mereka mendapat manfaat dari sistem dukungan negara yang komprehensif baik langsung maupun tidak langsung. Namun perusahaan-perusahaan ini tidak bisa berpuas diri karena sistem ini dirancang untuk mendorong persaingan dan setelah tiga tahun dukungan pemerintah harus diperoleh kembali.

Tiongkok telah lama berupaya memperluas akses UMKM ke pasar domestik dan internasional melalui berbagai inisiatif perdagangan dan promosi. Ini termasuk partisipasi dalam pameran dagang internasional, bantuan dalam mengakses platform e-commerce, dan dukungan untuk ekspor.

UMKM di Tiongkok telah didorong untuk mampu berkembang dan terus mengembangkan teknologi tinggi. Hal itu merupakan cara yang diterapkan Tiongkok agar UMKM memiliki potensi untuk berspesialisasi dalam ceruk pasar, mengembangkan alternatif dalam negeri dibandingkan input dari produk asing, serta Pemerintah Tiongkok mengupayakan agar UMKM mampu memperkuat rantai industri Tiongkok. Salah satu yang telah diterapkan adalah sistem dukungan komprehensif yang dijabarkan dalam strategi Made in China 2025.

Pemerintah Tiongkok telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas inovasi UMKM. Ini termasuk pelatihan teknis, pendidikan kewirausahaan, dan dukungan untuk riset dan pengembangan. Pemerintah Tiongkok memfokuskan perusahaan-perusahaan besar untuk mencapai tujuan startegis sesuai dengan visi misi pemerintah, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil dipandang sebagai sumber inovasi.

Di Jepang, khususnya di Osaka, MOBIO Higashi bisa menjadi perbandingan menarik dengan kebijakan pengembangan UMKM di Indonesia. MOBIO didukung pemerintah Perfecture OSAKA, untuk berperan sebagai koordinator guna memperluas peluang terciptanya bisnis baru yang mempersatukan usaha dan innovasi masyarakat wirausaha dengan teknologi.

Sektor pemerintah bekerjasama dengan swasta dan perguruan tinggi telah mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk mendukung pengembangan teknologi dan produk baru serta pengembangan pasar. Dalam fasilitas ini juga disediakan “Incubation Room” - 12 rooms dimaksudkan untuk inkubasi teknologi dan teknis.

Masih banyak lagi yang bisa dibuat perbandingan antara kebijakan dan program UMKM di Indonesia dengan negera-negara lain; misal Jerman dengan “Jerman Mittelstand” nya; dengan Malaysia dengan program Rencana Malaysia Kesembilan (Ninth Malaysia Plan) serta Rencana Induk Industri Ketiga (Third Industrial Masterplan). Di Singapura ada program SEEDS yang mendorong inovasi UMKM dan didukung lintas stakeholder menjadi produk andalan Singapore yang menjadi bagian penting ekonomi Singapore dsb.

Catatan Penutup

Kembali ke maksud awal tulisan ini, apakah perlu dibangkitkan kembali wacana untuk mereformasi kebijakan pemerintah bagi sektor UMKM (sektor riil) yang memberi dukungan dan harapan mencapai Indonesia Emas 2045; atau kita berpuas diri dengan makin banyaknya kebijakan fiskal bagi UMKM dan mengharapkan UMKM otomatis berkembang dan berdaya saing dalam era bonus demografi den tekanan ekonomi global yang makin menyesakkan?

Satu hal isyu dasar yang secara umum dihadapi UMKM sejatinya berkisar pada 6 M, yakni: Man, Money, Machine, Management, Marketing and Materials.

Untuk itu, salah satu catatan menarik dari penulis The Bottom of Pyramid, yang juga pakar business strategy and competition kenamaan di AS, Prahalad, antara lain menyebutkan bahwa, usaha mikro, warung, asongan dsb mempunyai peran besar dalam pemasaran produk-produk industry besar (korporasi), mulai dari makanan, minuman, rokok, sabun, sampo dll. Karena itu, korporasi juga perlu didorong untuk ikut memberdayakan Usaha Kecil dan Mikro, mengingat kontribusi mereka cukup besar. Karena itu, bantuan pada mereka tidak cukup dengan CSR atau sekadar derma-dermi model Sinterklas, tapi juga bimbingan usaha, kredit ultra mikro, dan pelatihan-pelatihan sebagai bagian dari tanggungjawab mereka.

Selain itu, membangun kepercayaan Bank dan Lembaga Keungan untuk meningkatkan kredit ke sektor pertanian/peternakan/perikanan, terutama akibat trauma moral hazard sebagian petani akibat kemiskinan mereka hingga mereka ngemplang hutang. Ini juga cukup penting setidaknya bila membaca data per Juni 2024 terkait jumlah plafon kredit yang belum digunakan (undisbursed loan) yang mencapai Ro 2.000 Trilyun, meningkat dari Rp 1.800 Trilyun pada tahun 2023. Hal ini mungkin bisa dimaknai sebagai bukan modal yang sulit dikses, tetapi karena bank sulit mendapatkan nasabah bagus dan bisa dipercaya.

Dalam hal marketing UMKM, jangan hanya dibayangkan UMKM hanya menjual produknya ke konsumen akhir saja. Dalam kenyataannya pasar potensial kelompok Usaha Mikro itu juga dipasarkan ke Usaha Kecil, dari Usaha Kecil ke Usaha Menengah dan selanjutnya ke Usaha Besar. Ini artinya, strategi pemerintah untuk memfasilitasi terbentuknya linkages dan juga cluster perlu dilakukan.

Demikian catatan sederahana ini. Mudah-mudahan hati Presiden Prabowo terusik dan menjalankan pendekatan kebijakan dan program yang berbeda dan Istimewa bagi UMKM, jauh berbeda dari rezim-rezim sebelumnya, yang begitu-begitu saja.

Diantara bisikan manis dari para pembisik yang sebagian besar hatinya untuk ‘kekuasaan’, give us a small room to listen clearly and seriously the gloomy face of SMEs looking at Indonesia Emas 2045. Or…. Do SMEs no longer have hope?

Wallahualam.

Komentar