Asuransi Impor, Komponen Wajib yang Masih Diabaikan Pelaku Usaha

(Kiri ke kanan) Ketua Asperindo Jawa Timur sekaligus praktisi logistik Asmaul Husna; Direktur Utama PT Goesaff Manunggal Sejahtera Ramali Affandi dan Wakil Ketua Umum Kadin Surabaya bidang Logistik, Perdagangan Barang dan Jasa & Ekspor Impor Medy Prakoso saat Acara Kick Off Asuransi Impor di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Rabu (8/10/2025).


KANALSATU - Di tengah meningkatnya aktivitas perdagangan internasional, asuransi impor justru masih menjadi elemen yang kerap diabaikan banyak pelaku usaha.

Padahal, asuransi merupakan bagian penting dalam proses impor yang berfungsi tidak hanya sebagai perlindungan risiko, tetapi juga sebagai syarat kepatuhan administratif dan legalitas dokumen kepabeanan.

Ketidaktahuan terhadap pentingnya asuransi ini kerap menjadi sumber hambatan, mulai dari keterlambatan pengeluaran barang di pelabuhan hingga sanksi administratif dari otoritas kepabeanan.

Dalam sistem perdagangan internasional, khususnya skema CIF (Cost, Insurance, Freight), biaya asuransi harus dimasukkan dalam nilai pabean. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 144/PMK.04/2022, yang mewajibkan dokumen asuransi sebagai bukti sah dan komponen penentu besaran bea masuk.

"Asuransi impor bukan sekadar pelengkap. Ia adalah dokumen kunci untuk validasi PIB (Pemberitahuan Impor Barang). Tanpa itu, proses kepabeanan bisa tertunda bahkan ditolak," jelas Ketua Kadin Surabaya H.M. Ali Affandi.

Selain menjadi syarat legalitas, asuransi juga memberikan perlindungan atas risiko kerusakan atau kehilangan barang selama pengangkutan internasional. Risiko seperti badai laut, kontainer bocor, hingga kesalahan bongkar muat bisa terjadi kapan saja — dan asuransi menjadi satu-satunya pelindung aset bisnis dari kerugian yang lebih besar.

Menurut data Kadin Surabaya, dari sekitar 1.600 importir di Surabaya, mayoritas belum memahami peran vital asuransi dalam rantai pasok. Banyak yang masih berpikir bahwa pengurusan asuransi adalah tanggung jawab eksportir di negara asal, terutama jika menggunakan skema perdagangan FOB (Free On Board). Padahal dalam FOB, tanggung jawab asuransi sepenuhnya ada di pihak importir.

"Kesalahan memahami Incoterms inilah yang menyebabkan barang tertahan karena dokumen tidak lengkap," ungkap Ketua Asperindo Jawa Timur Asmaul Husna.

Meski data menunjukkan hanya sekitar 1–2 persen barang impor mengalami kerusakan, risiko tetap ada dan tidak bisa diabaikan. Wakil Ketua Kadin Surabaya Medy Prakoso, menekankan bahwa asuransi adalah bentuk manajemen risiko.

“Kalau satu kontainer barang rusak dan nilainya miliaran, siapa yang akan menanggung kalau tidak ada asuransi?” katanya.

Tidak hanya risiko fisik, dokumen asuransi juga menjadi alat verifikasi otomatis dalam sistem kepabeanan digital. Tanpa itu, sistem Bea Cukai bisa menunda proses atau meminta klarifikasi yang memakan waktu dan biaya.

Menyikapi kondisi ini, Kadin Surabaya kini mulai mendorong edukasi intensif tentang asuransi impor kepada para pelaku usaha, khususnya UKM. Tidak hanya melalui seminar dan pelatihan, tetapi juga lewat penyediaan layanan asuransi yang mudah diakses, terintegrasi secara digital, dan terhubung langsung dengan sistem Bea Cukai.

“Tujuan akhirnya adalah menciptakan iklim usaha yang tertib, terlindungi, dan kompetitif,” jelas Medy.

Di era perdagangan global dan digitalisasi logistik, asuransi impor bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Baik sebagai bentuk perlindungan bisnis maupun sebagai pemenuhan regulasi negara, peran asuransi tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Pelaku usaha yang mengabaikan aspek ini tidak hanya berisiko kehilangan aset, tetapi juga bisa tertahan dalam rantai distribusi dan menghadapi sanksi administratif. Maka, memahami, mengurus, dan menyertakan dokumen asuransi dalam setiap kegiatan impor adalah langkah cerdas untuk keberlanjutan bisnis di pasar global.
(KS-5)
Komentar