Absurditas Kebijakan Cukai Rokok

Oleh Lutfil Hakim

Pemerintah mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk insentif sejumlah industri yang terkena dampak pandemi Covid-19, agar tetap exis. Selain juga memberikan stimulus berupa keringanan pembayaran bea masuk bahan baku, skema pembayaran listrik yang ringan, toleransi waktu pelunasan PPN, serta penghapusan denda pajak lain dengan persyaratan tertentu.

Namun tidak semua industri bisa mendapatkan aneka fasilitas dimaksud (insentif, subsidi dan stimulus) meski sama – sama terkena dampak pandemi. Industri rokok salah satu contohnya. Tidak jelas kenapa. Padahal industri ini ( rokok ) juga mengalami shock akibat pandemi. Hampir semua pabrikan rokok tidak mencapai target penjualan pada 2020.

Boro – boro dapat insentif, industri rokok justru ditambah bebannya dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 12,5% pada 2021. Padahal tahun ini (2020) cukai sudah naik 23% yang dampaknya berat pada penjualan. Belum lagi dampak pandemi. Artinya dalam rentang dua tahun (2020 – 2021) industri rokok dihajar tiga kali pukulan berat (hattrick strokes) yang akan membuatnya lebih sempoyongan. Sungguh absurd.

Padahal industri rokok adalah legal industry yang secara konstitusi memiliki hak untuk dilindungi. Apalagi selama ini banyak memberikan kontribusi kepada perekonomian nasional, bukan hanya setoran cukai ke APBN, tapi juga pembayar pajak besar, menyerap banyak tenaga kerja, serta memiliki rantai ekonomi yang panjang mulai dari on farm sampai off farm tobacco.

Mirisnya lagi, pemerintah tidak meminta masukan dari pelaku industri rokok dalam menentukan kenaikan cukai. Artinya pemerintah telah melanggar UU No.39 TH 2007 tentang Cukai, Pasal 5 ayat 4 yang mengamanatkan, pemerintah wajib memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha (rokok) dalam menentukan kebijakan tarif cukai. 

Industri rokok sejatinya tidak berharap mendapat fasilitas insentif terkait pandemi, sebagaimana industri lainnya. Hanya saja perlu didengar keluhannya mengenai dampak pandemi terhadap bisnisnya. Bukan justru ditambah beban beratnya. Idealnya diberi kelonggaran nafas minimal dua tahun untuk menstabilkan kondisinya, sebelum kenaikan cukai diterapkan.

Saat mengumumkan kenaikan cukai, Menkeu Sri Mulyani mengklaim kebijakan itu bagian dari upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok terkait kesehatan. Namun tidak disinggung bahwa dengan kenaikan 12,5% bakal ada setoran cukai rokok ke APBN 2021 sebesar Rp173 triliun – dari sebelumnya (2020) Rp164 triliun. 

Setoran cukai Rp173 triliun tentu sangat berarti bagi APBN, karena setoran pajak cenderung turun. Bahkan target setoran pajak 2021 dipangkas menjadi Rp1.444,5 triliun, dari target sebelumnya Rp1.481,9 triliun. Apalagi APBN 2021 diproyeksi defisit melebar hingga 5,7%. 

Pertanyaan besarnya adalah, mungkinkah kenaikan cukai  12,5% semata untuk aspek kesehatan.  Sementara perolehan APBN dari sisi pajak turun drastis, akibat pandemi. Bisakah lebih jujur mengatakan, kenaikan cukai sejatinya optimalisasi pendapatan APBN di tengah stagnasi perolehan pajak. Sehingga tidak ada kesan menisbikan industri dan konsumen rokok yang notabene telah banyak menyumbang setoran cukai ke APBN.

Pertanyaan berikutnya, benarkah kenaikan cukai bisa menurunkan konsumsi rokok, sementara kini juga tumbuh marak perokok yang melinting sendiri rokoknya (tingwe, linting dewe/Bahasa Jawa). Artinya asumsi yang dibangun pemerintah tidak linear dengan jumlah perokok yang sesungguhnya, karena risetnya tidak memasukkan perokok tingwe sebagai salah satu variabelnya.

Padahal perokok tingwe (non packaging/tidak kena cukai) kini menjadi tren di masyarakat. Bahkan kian banyak komunitas tingwe bermunculan, termasuk di kalangan mahasiswa dan remaja. Mereka mengklaim, rokok tingwe lebih memiliki sensasi. Peralatan tingwe pun kini bertebaran ditawarkan di bukalapak dengan harga murah.  Diantara perokok tingwe pun ada yang berjualan tembakau rajangan sebagai bahan baku, sehingga menjadi entitas bisnis tersendiri. 

Sejauh ini belum ada riset, bahwa murahnya harga rokok akan membuat tren perokok menjadi naik. Karena merokok lebih merupakan persoalan adiksi. Bukan persoalan harga. Bahkan tidak takut dengan aneka peringatan yang tertera di bungkus rokok, termasuk kata: Merokok Dapat Membunuhmu. 

Salah satu negara dengan harga rokok termurah seperti Vietnam pun tidak mengalami kenaikan jumlah perokok secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hanya naik tipis. Filiphina juga termasuk negara dengan harga rokok murah, tapi dalam enam tahun terakhir  konsumsi rokok di negara itu justru turun signifikan. Artinya harga rokok tidak berpengaruh linear terhadap tingkat konsumsinya.

Industri rokok adalah industri resmi, wajib dijaga kelangsungannya. Selain membayar pajak dan setoran cukai, juga memiliki rentetan ekonomi yang panjang. Bahkan investasi sektor sigaret ini telah dibuka seluas - luasnya, sehingga korporasi besar dunia bidang sigaret beroperasi di sini, seperti British American Tobacco (BAT) , Philip Morris International Inc. (PMI) , Japan Tobacco International (JTI) , Korea Tomorrow & Global d/h Korea Tobacco & Ginseng (KT&G).

Biarkan aspek kesehatan hanya menjadi domain Kementerian Kesehatan, supaya kebijakan soal cukai tidak terkesan standar ganda. Bagi masyarakat anti rokok, berikan masukannya ke Menkes, bukan ke Menkeu. Supaya tidak rancu.

Sejauh ini sudah banyak kebijakan yang me-marjinalkan posisi industri dan konsumen sigaret. Misalnya PP No.109 TH 2012, sebagai intrumen regulasi untuk membatasi industri tembakau. Meski Indonesia tidak ikut meratifikasi kesepakatan  FCTC (Framework Convention on Tobacco Control ) yang ditangani WHO, namun keberadaan PP No.109 TH 2012 justru dirasa lebih berat dari ketentuan FCTC itu sendiri.

Membatasi konsumsi rokok – sekaligus menaikkan target perolehan cukainya, sejatinya adalah perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) oleh pemerintah sendiri. Standar ganda. Dalam PP No.109 TH 2012, selain membatasi ruang gerak promosi rokok baik CSR maupun abvestisement di media, juga mengamanatkan kepada pemda kabupaten/kota untuk membuat Perda pembatasan ruang merokok. Sehingga ruang merokok kian sempit.

Sungguh ironis, ketika perokok sudah menyumbang pendapatan negara melalui cukai, namun ruang merokok terus dipersempit. Banyak tempat umum yang ditutup rapat dari asap rokok, termasuk di kereta api. Padahal sudah ada putusan MK No.57/PUU-IX/2011 – hasil pengujian materi hukum, bahwa tempat umum wajib menyediakan ruang merokok. 

Tapi hingga kini putusan lembaga resmi negara itu (MK) tidak banyak diindahkan. Termasuk oleh PT KAI. Apa susahnya menyediakan satu gerbong, dari rangkaian gerbong KA yang panjang, khusus untuk smooking room. Toh sudah ada sandaran hukumnya, yakni putusan MK.

Kereta Api merupakan sarana transportasi publik yang dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN). Bukan oleh sektor privat. Sepanjang negara masih memungut cukai, maka sepanjang itu pula seharusnya terjamin ketersediaan smooking room, sesuai putusan MK No.57/PUU-IX/2011.

Tembakau, bahan baku sigaret, adalah hasil perkebunan biasa. Tapi industri berbahan komoditas ini banyak dikepung peraturan. Selain diatur soal CSR dan promosinya, industri rokok juga diatur kemasannya. Kadar tar dan nikotin wajib dicantumkan. Tidak boleh dijual kepada usia di bawah 18 tahun dan ke wanita hamil, wajib disebutkan di bungkus rokok. Juga wajib tertera tulisan: “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya, serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. 

Produsen pun tidak boleh semaunya menentukan sendiri total design kemasan rokok. Karena sebagian dari space kemasan sudah menjadi hak negara, yakni dipergunakan sebagai ajang peringatan keras bahaya merokok, dengan menampilkan gambar bagian tubuh yang mengerikan (akibat merokok).  

Pada kemasan juga wajib tertera tulisan, Peringatan Pemerintah: Merokok Dapat Membunuhmu. Atau, Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin. Atau, Merokok Dapat Merugikan Kesehatan

Harusnya di bungkus rokok juga tertera tulisan: Rokok Ini Sudah Dibayarkan Cukainya. (*)

Komentar