Perfect Crime

Oleh: Hadi Prasetyo, pengamat social-politik dan pembangunan

Fantômas adalah sebuah film komedi Prancis tahun 1964 yang dibintangi oleh Jean Marais sebagai penjahat utama Fantômas dan Louis de Funès sebagai komisaris polisi bernama Paul Juve yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya namun kalah kelas terhadap Fantômas.

Dalam film tersebut Juve bekerja sama dengan jurnalis Fandor, yang juga diperankan oleh Marais, mencoba mengejar Fantômas namun tidak pernah berhasil.
Ini adalah jawaban Prancis, pada tahun 1964, terhadap fenomena James Bond yang melanda dunia pada waktu yang hampir bersamaan. Ini adalah film pertama dari sebuah trilogi, dan Fantômas menjadi sangat sukses di Eropa, Uni Soviet, dan Jepang. Hal ini meraih kesuksesan bahkan di Amerika Serikat, tempat situs penggemar masih ada hingga saat ini.

Fantômas adalah pria dengan banyak penyamaran. Dia menggunakan maquillage (make up) sebagai senjatanya. Dia dapat menyamar sebagai siapapun menggunakan berbagai topeng dan dapat menciptakan kebingungan tanpa akhir dengan terus-menerus mengubah penampilannya.

Tidak seperti kisah penjahat di film-film Amerika, identitas Fantômas tidak pernah terungkap dan dia tidak pernah tertangkap. Selalu berhasil melakukan pelarian yang mustahil diakhir setiap episode.

Kisah fiksi Fantômas menggambarkan “perfect crime” (kejahatan sempurna) melalui manipulasi yang canggih, yang mugkin inspirasinya tidak berhenti pada novel fiksi komedi tetapi secara samar juga telah menginspirasi kisah-kisah nyata (dengan berbagai plot cerita) dalam “permainan” politik kekuasaan di berbagai negara (yang konon) demokratis.

Tetapi, apakah memang ada “kejahatan sempurna”? Sepertinya tidak ada! dalam arti semuanya pasti “tercium bau busuknya” dengan berjalannya waktu. Konyolnya si“penjahat”nya tidak pernah tertangkap dan dihukum. Sementara para korban tetap memikul beban derita, dan lingkungan masyarakat yang sangat permisif dan pragmatis semakin melupakan kisah bau busuknya seiring perjalanan waktu. Bahkan dalam perubahan generasi, bisa muncul tokoh-tokoh yang sebetulnya “penjahat ala Fantômas” tetapi dikemas dengan topeng dan kisah kepahlawanan.

Kembali kepada pertanyaan: : “apakah memang bisa ada kejahatan sempurna” di era modern (yang masih samar kental dengan paham kapitalisme dan imperialism modern), di era transparan, supremasi hukum dan demokrasi?

Jawabnya bisa dan mungkin saja!! Jika beberapa kondisi terjadi, seperti:
a) Jika para pemain kunci seperti pemimpin, tokoh, institusi kekuasaan dan institusi sosial tidak berintegritas terhadap standard moral dan etika.

b) Jika sebagian masyarakat hidup pas-pasan atau didominasi middle dan low income, sehingga money politic, penyuapan, iming-iming harapan palsu mampu mempengaruhi electoral vote

c) Jika sebagian petualang-petualang politik tingkat tinggi menengah dan bawah dikuasai oleh mereka yang oportunis

d) Jika sebagian generasi milenial dan gen-Z tidak mempunyai kecerdasan dan pengetahuan tentang politik kekuasaan, dan hanya focus pada gadget, informasi yang viral serta rentan terombang-ambing emosinya.

e) Jika sebagian masyarakat bergeser paradigma hidupnya dari pekerja keras, sikap pejuang, keteguhan etika dan moral; menjadi paradigma “kutu loncat”, jalan pintas meraih kekayaan dan jabatan.

Masih banyak “prasyarat jika” yang memungkinkan terjadinya “perfect crime” dalam persaingan politik kekuasaan di negara demokratis. Namun demikian “perfect crime” sesungguhnya bisa dengan mudah terjadi bila 3 (tiga) actor politik kekuasaan bertemu sinergis, yaitu: kelompok kapitalis yang serakah; kelompok kekuasaan politik yang konsiratif dan koruptif; dan kelompok masyarakat yang opportunis,
Kelompok kapitalis (oligarkhi) yang serakah akan terus mengembangkan sayap bisnis demi kuntungan yang bisa tumbuh eksponensial. Mereka akan menanamkan “investasi” untuk mendukung entitas politik kekuasaan dalam skema kolaborasi dan kosnpirasi.

Kelompok politik kekuasaan akan terus mengejar ambisi kekuasaan yang berkesinambungan dengan mengabaikan prinsip-prinsip etika dan moral; serta memanipulasi hukum.

Kelompok masyarakat yang berparadigma kutu loncat, oportunis dan kurang ideologis, merupakan “mitra” kelompok kapitalis dan politik kekuasaan yang dimainkan untuk mempengaruhi baik persuasive maupun intimidatif terhadap “silent majority” yang dalam setiap pemilu/election menjadi primadona karena jumlah electoral vote yang besar.

Pertemuan sinergis 3 kelompok tersebut tentu diwarnai dengan munculnya kolusi, korupsi dan nepotisme yang massif dan meluas dari atas ke bawah (dan itu the real crime ala Machiavelli), terbungkus dengan narasi besar (manipulative) atas nama “perlindungan hukum” oleh entitas politik kekuasaan. Maka wajar bila “penjahatnya” tidak pernah terungkap dan tertangkap, walaupun bau busuknya menyebar kemana-mana.

Semua “crime” yang terjadi, dimanipulasi dalam narasi besar tentang jargon-jargon: demi rakyat; demi kemajuan dan kemakmuran; demi keadilan; demi persatuan dan kesatuan, demi bangsa dan negara dst. Walaupun narasi besar ini menjadi lucu dan tidak logis jika dinalar oleh para professional dan akademisi (seperti teriakan kelompok Professor/Guru Besar; kelompok mahasiswa kelompok aktivis dan kelompok tokoh agama yang memperjuangkan etika dan moral), toh kekuatan politik kekuasaan yang kolaboratif dan konspiratif mampu melewati gelombang dan badai perlawanan dari mereka yang pejuang kebenaran, etika dan moral, karena kekuasaan seperti ini mampu mengendalikan semua institusi-institusi hukum dan ketatanegaraan.

Yang menjadi pertanyaan, apakah situasi seperti ini bisa langgeng? Jawabnya tentu tidak! Seiring waktu akan ada “orang-orang baik” dari kalangan internal yang akan melawan karena desakan hati nurani, etika dan moral, serta “ancaman hukuman atas dosa-dosa” apapun agamanya.

Dalam banyak kisah tentang kejahatan kekuasaan, pengkhianatan dari dalam akan menjadi trigger dari keruntuhan kekuasaan konspiratif. Masalahnya tinggal tunggu waktu dan momentum yang tepat. Dan bagi orang beriman, Tuhan akan “turun tangan” memporak-porandakan kekuasaan jahat pada saatnya.

Merujuk Jangka Joyoboyo: “jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan isih luwih beja wong kan eling lan waspodo”. Ini menjadi tantangan bagi kita semua; melu ngedan atau ora melu ngedan nanging eling lan waspodo? Hanya eling lan waspodo? Lalu siapa yang melakukan perlawanan dan menjadi martir? Atau mungkin harus menunggu kekuasaan konspiratif pada akhirnya pecah bertabrakan diantara elemen-elemen di dalamnya dan runtuh musnah? Bukankah kekuasaan di dunia tidak pernah langgeng?.

Sayapun tercenung. Juga terguncang hati ketika melihat begitu banyaknya kelompok masyarakat yang masih miskin, kelaparan, sakit-sakitan, bodoh, stunting, pengangguran dll yang sulit mendapatkan dukungan pembiayaan (karena dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan secara koruptif) dan sulit mendapat kesempatan yang adil (karena sindikasi kolusi dan nepotisme) untuk menjalani kehidupannya; sementara korupsi, kolusi dan nepotisme didukung kaum oportunis terus berjalan dengan dada terangkat dan senyum misterius dalam bungkus narasi besar manipulatif demi bangsa dan negara.

Sayapun teringat pepatah: “dalam kerumunan orang-orang besar banyak kebohongan dan kejahatan besar pula”. Samar-samar saya seperti dengar bisikan: “makanya Tuhan menetapkan hari kiamat, karena kejahatan manusia sudah makin tidak dapat ditoleransi”

Sayapun berdoa mudah-mudahan ada kebangkitan kesadaran nasional di Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2024… Wallahualam.(*)



Komentar